Breaking News

Di Balik Pabrik AMDK “Gunung” Babakanmadang Bogor: Jeritan Buruh, Upah Murah Hingga Dugaan Pelanggaran Hukum yang Dibiarkan


BABAKANMADANG I DELIK KASUS NEWS.ID – Di tengah derasnya arus botol-botol air mineral berlabel “Gunung” yang membanjiri pasar, tersimpan kisah kelam yang mencoreng wajah industri di Kabupaten Bogor. PT. SLA, produsen air mineral yang beroperasi di Desa Citaringgul, Kecamatan Babakan Madang, diduga melakukan pelanggaran serius terhadap hak-hak buruh. Mulai dari pembayaran upah di bawah standar hingga pengabaian jaminan sosial, perusahaan ini kini menjadi sorotan tajam publik dan aktivis.


Ketua DPD Jabar LSM KPK RI, Januardi Manurung, menyebut praktik yang dilakukan PT. SLA sebagai bentuk pelanggaran hukum yang tidak bisa ditoleransi. “Perusahaan yang membayar upah di bawah UMK harus ditindak tegas. Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia dan harus dihukum sesuai dengan undang-undang,” tegasnya, Jumat (5/12/2025).


Menurutnya, sanksi bagi perusahaan yang melanggar ketentuan upah minimum sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja, yang merevisi UU Ketenagakerjaan. Hukuman pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun, serta/atau denda antara Rp100 juta hingga Rp400 juta, mengintai pelanggar.


Namun, pelanggaran tak berhenti di situ. Januardi juga mengungkap bahwa PT. SLA tidak mendaftarkan buruhnya ke dalam program BPJS. “Jamsostek adalah hak pekerja/buruh yang diatur secara eksplisit dalam Pasal 99 UU Ketenagakerjaan. Perusahaan memiliki kewajiban untuk memenuhinya,” ujarnya.


Ia menambahkan, Pasal 15 ayat (1) UU BPJS menegaskan bahwa pemberi kerja wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta BPJS. “Perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban ini harus ditindak tegas,” tambahnya.


LSM KPK RI mendesak pemerintah, khususnya Pemerintah Kabupaten Bogor, untuk segera turun tangan. “Kami akan terus mengawasi dan memperjuangkan hak-hak buruh,” kata Januardi. “Kasus ini menambah daftar panjang pelanggaran yang dilakukan oleh PT. SLA. Pemerintah diharapkan dapat segera mengambil tindakan tegas untuk melindungi hak-hak buruh,” tutupnya.


Ironisnya, pihak perusahaan justru mengakui praktik ini. Saat dikonfirmasi, Sena, perwakilan dari PT. SLA, menyatakan, “Kalau gaji segitu memang ada, tapi bagi yang baru,” ujarnya singkat, merujuk pada upah harian sebesar Rp75 ribu yang diterima sebagian buruh.


Keluhan dari para pekerja pun mulai bermunculan. “Sehari 75 ribu cukup buat apa? Sedangkan ini perusahaan lumayan besar,” keluh salah satu buruh yang enggan disebutkan namanya. “Gaji di bawah Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Bogor, tidak adanya BPJS. Makanya sejauh ini berobat aja pake uang sendiri,” tambahnya.


Kisah ini menjadi potret buram dari industri yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi lokal. Ketika keuntungan terus mengalir, para buruh justru dibiarkan bertahan hidup dalam ketidakpastian dan ketidakadilan. Pemerintah tak bisa lagi menutup mata. Penegakan hukum dan perlindungan buruh bukan sekadar wacana—ini soal martabat manusia. (Red).

Baca Juga

© Copyright 2022 - DELIK KASUS NEWS